Monday 29 February 2016

MANGKUYUDO KEBERAPAKAH ADIPATI SINDUREJO JUMO?

Ilustrasi yang diambil dari foto para nayaka Kedu pada zaman kolonial

Serat Nayakatama oleh Mangkunegaran menyebutkan:

Radèn Adipati Sindurêja punika têrahipun Kiyai Agêng Ênis, ingkang sugêngipun kala jaman karaton nagari Dêmak, dumugi kraton Mataram, sadèrèngipun radèn adipati punika jumênêng patih, dados bupati bumija nagari Kêdhu, dêdalêmipun ugi anglênggahi ing siti wawêngkonipun, asmanipun Radèn Tumênggung Mangkuyuda.

terjemahan bebas:
Raden Adipati Sindurejo adalah keturunan Kyai Ageng Enis, yang hidup pada zaman Demak hingga Mataram, sebelum Raden Adipati ini menjadi patih, beliau menjadi bupati Bumija dinegeri Kedhu, tinggal di tanah kekuasaannya dengan nama Raden Tumenggung Mangkuyuda.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, Mangkuyuda keberapa Raden Adipati Sindurejo tersebut?

Salah satu petilasan yang masih bisa ada hingga saat ini adalah adanya Masjid Adipati Sindurejo di Desa Jumo, Kabupaten Temanggung. 

Menurut Serat Nayakatama, Raden Tumenggung Mangkuyudo alias Adipati Sindurejo, memberikan tempat tinggalnya di Solo dikampung Kethelan untuk dijadikan kediaman Mangkunegara I sebelum kemudian Mangkunegaran membangun istananya sendiri pada zaman Mangkunegara II, kemudian rumah Mangkuyuda ini diberikan kepada patih Wignyawijaya.

Dari buku ini juga disebutkan jika Raden Tumenggung Mangkuyudo ini sudah menjabat menjadi Tumenggung sejak zaman Geger Pecinan pada tahun 1740. Kemudian Tumenggung Mangkuyudo ini, menjadi patih pada zaman Pakubuwana III, menggantikan Patih Sasradiningrat, kemudian berganti gelar menjadi Patih Adipati Sindurejo. Walau hanya 2 tahun namun Adipati Sindurejo ini telah banyak berjasa bagi perdamaian 3 negara= Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran. Mangkuyudo ini adalah Mangkuyudo yang sama yang ditugaskan mencari tanah untuk istana baru yaitu Solo pada zaman pasca Kartasura dikuasai Sunan Kuning pada era Pakubuwana II pada tahun 1745.

Babad Tanah Djawi tidak secara gamblang menyebutkan masing-masing identitas Tumenggung Mangkuyudo, kecuali Kyai Wongsocitro yang diangkat Amangkurat II menjadi Tumenggung Mangkuyudo I dari Kedu untuk menyaingi Tumenggung Mangkuyudo-nya Trunojoyo yang berasal dari Pasuruan. Bila Wongsocitro atau Mangkuyudo meninggal pada tahun 1677. Apakah anaknya Wongsocitro? Tumenggung Mangkuyudo II atau Kyai Lembu tidak mungkin menjadi Mangkuyudo/Sindurejo yang dimaksud karena Mangkuyudo II hidup dari era Amangkurat II yang membangun Kartasura, kemudian Amangkurat III yang kemudian digulingkan pamannya, Pakubuwana I pada tahun 1705. Pada saat perang Amangkurat III dengan Pakubuwana I yang masih tinggal di Semarang dibawah perlindungan VOC, Mangkuyudo II sudah hilang karena yang muncul adalah tentang anak-anaknya: Mangkuyudo III, Mangkudrono, Mangkuprojo.

Ilustrasi priyayi zaman Kartasura
Menurut Babad Kedhu Ketitang yang dihimpun oleh Yudodiprojo, Bagus Lembu/Mangkuyudo II memiliki 3 anak= Mangkudrono dari istri Kaliwungu, Mangkupraja dari B.R.Ay. Mangkuyudo dan seorang anak lagi dari istri Panularan.

Babad Tanah Djawi mengisahkan ketika Kartasura/Pakubuwana II bekerjasama dengan laskar Cina yang telah memberontak di Batavia menyerang Loji dan benteng VOC di Kartasura namun berhasil diserang balik oleh VOC hingga Notoyudo diceritakan terbunuh saat mempertahankan sitihinggil Kartasura. Notoyudo adalah anak kedua Wongsocitro. Kemudian Pakubuwana II berbalik arah bekerjasama dengan VOC untuk mengalahkan pasukan Cina. Laskar Cina berhasil menyerang Semarang dengan bantuan pasukan para bupati yang membenci VOC. Pada peristiwa itulah diceritakan Mangkuyuda terbunuh saat hendak menyerbu semarang.

Pada Buku Sri Radyalaksana tahun 1939, yang menceritakan mengenai perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta, diceritakan pada masa Pakubuwana II mengenai Bupati Bumi adalah Tumenggung Mangkuyuda dan Bupati Bumija adalah Tumenggung Natayuda. Hal tersebut tercantum dalam bab 10, sbb:

Kyai Tumênggung Mangkuyuda nayaka bumi, Kyai Tumênggung Natayuda bumija, kawajibanipun sagêd olah têtanèn, ahli môngsa ambudi saening tanêman, amanah mirahing rijêki saliring pangasilan, ingkang tinêdha para wadya narendra sadaya, manawi wontên karsa dalêm ananêm ing sapanunggilanipun, amangun sêkaraning taman, manawi wontên pundhutan sawarnining wowohan, sêkar, godhong, babakan klika wit, oyod, dhangkèl, sulur, sobrah, kleyang, garapan angrenah ing tanêman, supados saenipun, tulusing sabin, têgil, bêran, pagagan, amanah toya tumumpanging pasabinan, tulaking ama, ananêm tanêman ingkang kangge ing praja, anggêring karaton, ing margi-margi, ing pêkên-pêkên, amurih eyubing tiyang langkung, anyumêrêpi sawarnining thêthukulan ingkang kenging kadamêl usada, saha sabarang tanêman tuwin uwit, ingkang botên pantês tinanêm ing praja, wajib kabucalana, amariksani pananêming wadya, sabarang têtanêman ingkang dadosakên kasangsaran panyakiting wadya, ingkang mawi wisa, wajib kabucalana, têtanêman ingkang agêng-agêng ingkang mutawatosi kasirnakna, anêtêpi agami. Sadaya golonganipun kawajibaning kabupatèn, punika dalah sapanêkaripun, wadana kaliwon panèwu mantri kêdah sami anglampahi sarta sumêrêp ing kawajibanipun piyambak-piyambak, punika sami angèstokna sadaya, sami ibadah anêtêpi agami Islam.

 terjemahan bebas:
Kyai Tumenggung Mangkuyuda adalah nayaka bumi dan Kyai Tumenggung Natayuda adalah nayaka bumija. Mereka berdua bertugas dalam pertanian, irigasi, dan agama Islam di wilayah Kedu. 

Merujuk pada kedua tokoh tersebut yang menjadi jabatan keduanya juga serta gelar sebutan "Kyai Tumenggung" bukan "Raden Tumenggung" kemungkinan merujuk pada tokoh Kyai Lembu dan Kyai Buwang. Kecil kemungkinan merujuk pada anak-anaknya.

Lalu Mangkuyudo III siapa? Pertanyaan tersebut kembali harus dilihat pada sosok anak-anak Mangkuyudo II. Yaitu Mangkudirono dan Mangkuprojo. Dari Babad Tanah Djawi diceritakan bahwa Ngabei Mangkudirono adalah Keliwon Bumi. Keliwon adalah jabatan wakil dari bupati/pejabat daerah. Dikisahkan bahwa sepeninggal Mangkuyudo II, Mangkudirono mendeklarasikan diri menjadi bupati dengan nama Ki Mangkuyuda dengan Desa Wates sebagai pusat kekuasaannya. Mangkuyuda alias Mangkudirana ini setelah sekian lama tidak datang pada undangan Kraton dan VOC malah mengangkat diri bergelar Tumenggung Amangkurejo. Pada versi babad Tanah Djawi ini diceritakan Ki Mangkuyuda alias Ki Mangkudirana alias Tumenggung Amangkurejo ini ditangkap VOC, sementara adiknya Mangkupraja diampuni malah diangkat menjadi Tumenggung. 
Peristiwa ini terjadi sebelum Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I memberontak kepada VOC dan Pakubuwana dikarenakan tanah linggihnya dikurangi oleh VOC.

Bila latar belakang sejarah yang bisa digali adalah seperti itu, maka kemungkinan Mangkuyuda alias adipati Sindurejo yang sangat berjasa pada Mangkunegaran yang dimaksud adalah Mangkuyuda IV yang kemungkinan juga bukan dari keturunan Wongsocitro langsung. Hal tersebut ditegaskan pihak Mangkunegaran dengan membuat silsilah Mangkuyudo Sindurejo tersebut secara tersendiri tanpa menyebutkan Wongsocitro atau Kyai Lembu sebagai moyangnya dalam serat Bauwarna, bahkan menyebut Mangkuyuda tersebut adalah Mangkuyuda I. Silsilah Mangkuyuda IV atau dalam Bauwarna disebut Mangkuyuda I tersebut adalah:

Radèn Adipati Sindurejo pêpatih ing Surakarta, zie patih no.17 en 20 (P.B.III 2 taun), iku putrane Ngabèi Sutamarta III putrane id. II putrane Ngabèi Martadipa, putrane id. I. putrane Tumênggung Martayuda  

ditegaskan pula:

Radèn Adipati Sindurja II (2 t. P.B.III.) putrane: Ngabèi Sutamarta III, Ngabèi Sutamarta II, Ngabèi Martadipa zie 18 bov. 


sementara itu dari Babad Kedhu Ketitang menyebut tentang Mangkuyuda IV tersebut:

Kyai Mangkudrono gumantos Bupathi Kedhu nama Kyai Tumenggung Mangkuyudo Kaping III peputra Nyai Tumenggung Sorowadi garwa Tumenggung Sorowadi putro Kyai Sutomerto Kaping II trah saking Ki Ageng Karotangan Pager redi.
Nyai Tumenggung Sorowadi Peputro Raden Tumenggung Mangkuyudo IV.

Jelaslah bahwa Adipati Sindurejo III yang menjadi patih Pakubuwana III selama 2 tahun tersebut, yang menjadi orang yang berjasa bagi Mangkunegaran dan tokoh yang membangun Masjid di Desa Jumo adalah Mangkuyudo IV dalam urutan Wongsocitro alias Mangkuyudo I. 

Semoga Teori "Jati diri dan sejarah Mangkuyuda IV" ini bisa menjadi referensi dan tidak ada tendensi apapun untuk mendiskreditkan pihak manapun yang telah menuliskan sejarah sosok tersebut dengan alasan apapun pada zaman itu, karena hukum "SEJARAH DITULIS OLEH PIHAK PEMENANG UNTUK MELEGITIMASI DIRINYA" masih berlaku sejak zaman majapahit.