Thursday 10 September 2015

Wongsocitro si Mangkuyudo dalam peristiwa Trunojoyo Kraman



Membaca kisah heroik seorang Wongsocitro atau Raden Tumenggung Mangkuyudo I dari Kedhu tentu haruslah membaca kisah peperangan Trunojoyo. Sudah banyak buku dan cerita yang mengisahkan bagaimana Trunojoyo dan siapa Trunojoyo. 

Trunojoyo (divapress)

Secara garis besar, Trunojoyo adalah seorang menantu Amangkurat I (Sunan Seda ing Tegalarum). Kesewang-wenangan Amangkurat Agung memang membuat raja pengganti Sultan Agung Hanyokrokusumo tersebut sangat dibenci oleh kalangan luar kraton. Teror yang ditampilkan dalam pemerintahannya menutupi ketidak becusannya mengurusi negara besar yang diwariskan ayahnya. Amangkurat Agung terkenal memiliki kebiasaan yang tidak manusiawi. Dalam sebuah cerita, demi memuaskan diri, Amangkurat Agung mengadakan pagelaran gladiator bak raja-raja di Roma. Bila dalam budaya kraton ada istilah rampok atau mengadu harimau dengan manusia atau berburu harimau, maka Amangkurat Agung memberikan variasi dengan pertunjukkan harimau yang memangsa seorang budak perempuan atau tahanan perempuan. Bahkan dalam catatan sejarah diceritakan, Amangkurat Agung pernah membantai ribuan ulama yang tidak mendukung gelar sultannya. Hal itulah yang membuat dirinya tak mendapatkan gelar Sultan seperti halnya ayah pendahulunya. Diceritakan pula saat salah seorang selirnya meninggal, Amangkurat ini turut membakar 100 perempuan.

Trunojoyo tampil sebagai pahlawan yang membela kaum yang lemah. Ia kembali ke Madura dan merebut Madura. Pada waktu itu banyak orang-orang Makasar yang melarikan diri dan menjadi perompak dan bajak laut setelah kekalahan Sultan Hasanuddin dari VOC. Dengan bantuan mereka, Trunojoyo berhasil menguasai daerah pesisir bang wetan (Jawa daerah Timur). Apalagi banyak dukungan dari para bangsawan yang membenci raja lalim yang mulai berdatangan.

Ekspedisi Mataram ke bang wetan untuk menumpas pemberontakan Trunojoyo mengalami kekalahan. Banyak bupati yang takluk pada Trunojoyo dan membentuk aliansi besar untuk menyerang pusat pemerintahan Mataram saat itu, di Plered. Dibawah pimpinan seorang Madura yang bernama Tumenggung Mangkuyudo, armada besar Trunojoyo dengan pasukan intinya yang bernama prajurit Sinelir, berhasil menguasai ibukota Mataram tersebut. 

Amangkurat Agung dalam sebuah cerita melarikan diri bersama anak istrinya dan para dayang ke Imogiri pada malam hari ketika pasukan Trunojoyo mengepung ibukota Plered, meninggalkan rakyatnya untuk dibantai pada pagi harinya. Ia melarikan diri ke Imogiri. Karena para bangsawan menolak membantunya, Amangkurat Agung dikabarkan hampir gila dengan kebiasaannya bermain layang-layang hingga sakit-sakitan. Akhirnya ia bertemu Pangeran dipati Anom (Amangkurat II). Demi meminta bantuan VOC yang dulu dimusuhi ayahnya, Amangkurat Agung mengajak anaknya menuju ke Batavia. Namun sampai di Tegal, Amangkurat Agung meninggal.

Sebelum meninggal, ia meminta Pangeran Dipati Anom untuk menyerang kembali ibukota namun ditolak oleh anak kesayangannya tersebut, akhirnya adik Pangeran Dipati Anom yang bernama Pangeran Puger yang diperintah untuk melaksanakan tugas tersebut. Sementara Pangeran Puger menggalang kekuatan dan berhasil mengusir pasukan Trunojoyo dari Plered, Pangeran Dipati Anom yang berhasil mendatangkan bala bantuan dari Batavia mengangkat diri menjadi raja. Raja tak bersinggasana inilah yang akhirnya mengangkat pejabat-pejabat rendahan yang masih setia kepada ayahnya menjadi pejabat-pejabat teras Mataram. Beberapa diantaranya adalah Tumenggung Pronontoko, Adipati Mondoroko, Kyai Sendhi, Tumenggung Wiradigda dll. Lewat orang-orang itulah Amangkurat Amral mendapatkan bala bantuan baru.
Wongsocitro yang diceritakan dalam Wongsocitro (Raden TumenggungMangkuyudo I) dalam pemikiran dan Sejarah Mangkuyudo, mendapatkan gelar kebangsawanannya pada waktu itu. Entah sengaja karena terinspirasi oleh kehebatan Tumenggung Mangkuyudo Sampang atau Madura atau ketidaksengajaan, karena Mangkuyudo memiliki makna senapati perang, Amangkurat Amral memberi nama tersebut kepadanya.

Raden Tumenggung Mangkuyudo Kedhu alias Ki Wongsocitro dalam Babad Tanah Jawi baik versi Mainsma maupun Balai Pustaka secara detil digambarkan memiliki kekuatan luar biasa. Mainsma menceritakan bahwa Mangkuyudo Kedhu berhasil membunuh Mangkuyudo Sampang dan Dhandang Wacana, 2 orang pimpinan pasukan darat Trunojoyo. Babad Tanah Jawi versi Balai Pustaka menceritakan heroiknya Wongsocitro saat armada Mataram dan VOC menyerbu benteng pertahanan terakhir Trunojoyo di kediri.

Durma
Kêbatira wau Radèn Trunajaya | gya akèn inêb kori | lajêng tinuguran | dene ingkang ingatag | tinanggênah têngga kori | pun Darmayuda | ing Pasêdhahan wani ||
Wong Mataram angungsêd arêbat lawang | rame ungkih-ingungkih | pan ora darana | Tumênggung Mangkuyuda | anglancangi sigra prapti | ngarsaning lawang | jinêjak ponang kori ||
Pan rêmuk kori ing Kadhiri jinêjak | Mangkuyuda kaaksi |saksana tinumbak | dhatêng Ki Darmayuda | kêna jajane trus gigir | Ki Mangkuyuda | sigra malês nglarihi ||
Darmayuda kang winalês linarihan | tinumbak ingkang kêni | gêgurunge pêgat | ya ta sarêng aniba | kalih parêng angêmasi | Ki Mangkuyuda | pêjah jawining kori ||
Darmayuda pêjah salêbêting lawang | gègère tan sinipi | sadalêming kutha | pêjahe Darmayuda | anglir gabah dèn intêri | kang rêbat marga | sêdyane ngungsi urip ||

Terjemahan bebas:
Pasukan Trunojoyo yang lari masuk ke dalam kota Kediri mencoba menahan gerbang kota dari dalam dipimpin oleh Dermoyudo. Pasukan Mataram yang mengejar mencoba meringsek masuk namun ditahan dari dalam sehingga terjadi saling dorong. Mangkuyudo (Wongsocitro) akhirnya datang. Gerbang tersebut ditendangnya hingga hingga hancur. Kemudian Durmoyudo menyerangnya dengan tombak hingga menembus dadanya, sebelum jatuh, Mangkuyudo berhasil membalasnya. Keduanya sama-sama tewas. Mangkuyudo jatuh didepan gerbang sementara Dermoyudo didalam gerbang (sampyuh).

Dari cerita diatas, walau Mangkuyudo Kedhu adalah orang yang dipihak raja lalim, karena Amangkurat Amral juga tak lebih baik dari ayahnya. Namun sebagai seorang prajurit, seorang senapati, ia telah menunjukkan darma bakti untuk negaranya. 

Dalam catatan buku-buku kuno, walau banyak yang membenarkan tindakan Trunojoyo terhadap raja lalim Amangkurat Agung, namun pemberontakan tersebut telah membuat rakyat Mataram dalam kesengsaraan. Dan Belanda, lewat VOC, mulai menancapkan kukunya di bumi Mataram sejak perang peristiwa itu. Namun apapun itu, sejarah adalah bahan pembelajaran bagi orang yang hidup dimasa berikutnya. Sekuat apapun seorang raja lalim akan berakhir tragis dan hanya mewariskan tahta berdarah kepada generasi berikutnya.

Amangkurat Amral

Amangkurat Amral yang menjadi penerus Amangkurat Agung tak lebih baik. Dengan darah dingin ia membantai orang-orang Giri Kedhaton, membunuh Trunojoyo yang telah takluk, membunuh Adipati Tegal yang telah menampungnya selama dalam pengasingan, mengalami banyak pemberontakan walau sudah memindahkan ibukota kerajaannya ke Kartasura, seorang raja Jawa yang menjual setiap jengkal tanah yang dikuasi moyangnya demi kekuasaan. Semua itu adalah torehan sejarah berdarah mengenai tahta Mataram yang kelam tanpa mengurangi rasa hormat terhadap setiap tokoh yang ada didalamnya.




No comments:

Post a Comment